Dibalik Kehadiran Muslim Traveler Net TV
Ada yang sudah pernah menonton episode Muslim Traveler tahun ini di kota Dresden? Jika ada yang ingin menonton kembali episode tersebut, silakan klik tautan di bawah ini 🙂
Artikel berikut ini menceritakan latar belakang dari liputan video di atas.
Pada tanggal 24 – 27 Maret 2017 lalu, FORMID mendapat kunjungan dari NET TV dalam rangka salah satu liputan acara Muslim Traveler yang penayangan acaranya sedang berlangsung saat ini selama bulan suci Ramadan. Crew NET yang bertugas menjalankan liputan acara Muslim Traveler di Dresden adalah Marlia Yossie ( pembawa acara ) dan Yusuf Gandang Pamugkas ( juru liput ), sedangkan pihak perwakilan FORMID yang menemani tim NET dalam liputan adalah Bobby Rio Indriyanto dan Aji Pratama Rendragraha. Hal yang menjadi ketertarikan utama dalam liputan acara NET TV ini yakni perkembangan dan kondisi kehidupan umat Islam khususnya yang bermukim di Kota Dresden ditengah maraknya gelombang penolakan dan anti Islam yang saat ini sedang mendunia, ditambah dengan adanya sebuah organisasi di kota ini yang dengan lantang tanpa gentar beraksi dan konsisten menyuarakan penolakan atas kehadiran Islam dan imigran / pendatang di Jerman dan Eropa secara umumnya. Organisasi ini mentahbiskan diri sebagai PEGIDA ( Patriotische Europäer gegen die Islamiesirung des Abendlandes ) yang maknanya dalam bahasa Indonesia adalah Patriot Eropa melawan Islamisasi negara-negara barat yang didirikan di Dresden pada tahun 2014. Kelahiran PEGIDA membangkitkan gelora juang dan memberikan inspirasi bagi para patriot di kota-kota lain di Jerman khususnya untuk berhimpun dan bersatu membentuk pertahanan untuk mematahkan invasi dari imigran / pendatang yang ditunggangi oleh Islam yang dipandang sangat berbahaya bagi kelestarian adat istiadat, norma kehidupan masyarakat Jerman, dan peradaban Eropa moderen secara umum.
Kebangkitan Sang Patriot Eropa ini merupakan buah manis dari hasil konspirasi dan provokasi tentang stigma negatif atas Islam yang telah dipupuk bertahun-tahun dengan rasa kebencian dan pemikiran picik nan licik seiring dengan dimulainya amalgamasi antara Islam dan aksi teror yang dipopulerkan secara masal di dunia. Kelahiran organisasi yang secara gamblang mengusung permasalahan SARA ditengah-tengah masyarakat Eropa moderen yang dikenal menjunjung tinggi atas kesetaraan dan kebebasan, memberikan corengan dan membuka luka lama atas masa kelam Eropa terutama bagi bangsa Jerman yang belum lama baru kembali menata kehidupannya selepas perang dunia ke-2 dan persatuan Jerman, oleh karenanya banyak dari warga Jerman yang menentang aksi-aksi rasisme dan diskriminatif seperti yang dilakukan oleh PEGIDA termasuk warga Dresden dan para akademisi Jerman di TU Dresden khususnya. Walaupun persentase masyarakat di Dresden yang bergabung dengan PEGIDA itu kecil, namun demikian bagi banyak orang Islam di Dresden khususnya bagi mereka yang mengenakan atribut yang sangat identik dengan nuansa Islami ataupun bernuansa timur tengah merasa resah atas aktifitas PEGIDA ini. Cacian, makian, ejekan dan berbagai macam bentuk penghinaan secara verbal serta perlakuan tidak ramah merupakan hal yang lumrah terjadi kepada orang-orang Islam di sini, terutama bagi kaum wanita hal ini memberikan efek traumatis dan menjadi momok tersendiri, bahkan di tahun lalu sempat ada aksi teror pelemparan bom molotov pada saat malam hari di masjid Fatih Cami yang untungnya tidak memakan korban jiwa. PEGIDA selalu menggelar aksi orasi dan long march setiap hari Senin petang , bahkan tatkala ditahun kemarin pada hari dimana sedang berlangsungnya perayaan unifikasi Jerman di Dresden mereka tetap menjalankan aksinya.
Salah satu agenda dari tim NET TV adalah meliput kegiatan “Seninan” mereka yang pada saat itu lokasi berkumpul mereka diawali di Altmarkt. Sekalipun dengan rasa was-was kami mencoba mendatangi lokasi kerumunan PEGIDA untuk melihat dari dekat aksi orasi mereka dan apa yang sebenarnya mereka suarakan. Dari kami berempat kala itu, hanya saya, Bobby dan Mas Yusuf yang mendekat ke kerumunan, sedangkan Mbak Yossie berjalan di perimeter sesuai dengan anjuran polisi yang mengawal aksi tersebut sebab beliau berhijab dan langkah tersebut diambil untuk mengantisipasi dari hal-hal yang tak diinginkan. Begitu kami bertiga menghampiri kerumunan PEGIDA, banyak mata tertuju dengan pandangan sinis kepada kami dan ada beberapa dari mereka yang juga memberikan salam jari tengah. Namun disela-sela saya sedang mengambil foto-foto mereka, ada beberapa orang diantara mereka mendekat dengan wajah yang nampak berseri-seri. Tanpa sungkan mereka pun bertanya kepada kami terkait dari negara mana kami datang, apa yang dilakukan secara keseharian di Dresden sehingga terjadilah percakapan singkat dengan beberapa anggota PEGIDA disaat itu. Mereka berkata kepada kami, ” Kami senang dengan kedatangan kalian ke lokasi ini. Kami disini hanya berorasi menyuarakan pendapat kami secara damai “. Sebuah sambutan yang cukup ramah dari orang-orang yang menolak atas keberadaan orang-orang asing di kota mereka, namun diakhir perbincangan kami mereka menutup dengan kalimat ” Kami disini hanya menginginkan tidak adanya Ausländer ( orang asing ) “. Kalimat terakhir yang mereka ucapkan kepada kami sangatlah ambigu, membuat kami tetap bingung dengan keinginan mereka yang sesungguhnya sebab siapa yang mereka maksudkan dengan Ausländer yang tak diinginkan itu, apakah pendatang seperti pelajar, pekerja internasional, turis, dan segenap orang-orang non-Jerman yang berada di Dresden / Jerman agar mereka semua keluar dari Jerman, atau hanya orang-orang beragama Islam senegap dengan ajarannya, atau lebih spesifiknya mereka hanya menolak pengungsi / imigran yang mayoritas datang dari timur tengah yang selalu diidentikkan dengan pemikiran ” Arab adalah Islam begitu juga sebaliknya Islam adalah Arab ” sehingga mereka pun menjadikan dasar bahwasanya kekacauan yang saat ini terjadi di beberapa negara Arab itu sebab akibat dari dianutnya Islam sebagai agama untuk banyak orang disana, maka dari itu Islam tidak patut sama sekali untuk hadir dan berkembang di Jerman khususnya.
Namun ada hal menarik lain yang terjadi bersamaan dengan aksi demo PEGIDA di hari itu, yakni adanya demo tandingan dari kelompok masyarakat Dresden yang menentang PEGIDA. Terlihat sebuah perbedaan yang mencolok dari kedua kubu ini dari segi demografi usia pesertanya yang turun ke jalan pada hari itu. Kubu PEGIDA didominasi oleh masyarakat dengan umur separuh baya, sedangkan kubu anti-PEGIDA didominasi oleh kawula muda yang aksi demonya diiringi nyanyian dari sebuah grup band Jerman. Dari apa yang kami saksikan pada hari ini semakin mempertegas bahwa bukan sekedar rumor belaka yang mengatakan bahwa PEGIDA itu hanyalah sekumpulan orang-orang tua sisa-sisa era komunisme yang menginginkan Jerman itu tertutup seperti pada masa Jerman Timur, sekalipun tidak menutup kemungkinan ada golongan muda Jerman yang juga mempunyai pemikiran yang sama dengan ” orang-orang tua ” ini sehingga tumbuh rasisme di dalam diri mereka seperti yang juga kami alami di hari itu di dalam bus ketika ada segerombolan pemuda duduk di bangku belakang kami dan dengan sengaja memanggil kami dengan sebutan ” teroris “, ” jihadis “, dan juga bentuk “panggilan” lainnya. Penyebab utama dari sikap intoleran yang mewabah dan radikal ini adalah hal klasik seperti yang menjadi penyebab dari berbagai konflik antar ras manusia dan bangsa dari dahulukala, yakni adanya rasa kecemburuan sosial atau bisa dikatakan UUD ” ujung-ujung nya duit “. Saya dan Bobby pernah sekali waktu di malam hari sedang nongkrong di sebuah tempat makan cepat saji di Dresden, dan tak lama datang seorang pria paruh baya dengan pakaian lusuh dan membawa tas besar duduk di sebelah saya. Tak lama dia mulai membuka percakapan dengan kami, dan dia membuka jati dirinya bahwa ia adalah seorang tuna wisma. Dia berkata sudah 20 tahun lamanya berkelana dari kota ke kota di Jerman namun dia tidak pernah mendapat bantuan sosial dari pemerintah Jerman, sedangkan para pengungsi dari negara timur tengah yang notabene bukan warga uni Eropa namun mereka diberikan bantuan sosial baik itu materi ataupun akomodasi tempat tinggal oleh pemerintah Jerman, sehingga ia merasa tidak suka terhadap para pengungsi atau imigran ini. Ini merupakan sebuah contoh kecil pemicu rasa kebencian terhadap orang asing / pendatang yang dianggap mengambil jatah penghasilan mereka. Rasa ketakutan berlebih atas akan berkurangnya jaminan kesejahteraan hidup rakyat Jerman dan hembusan isu bahwa terancamnya kultur asli Jerman oleh semakin maraknya kebudayaan asing yang dibawa oleh para pendatang di Jerman adalah akar utama dari munculnya gerakan seperti PEGIDA ini.
Namun ditengah maraknya kabar negatif yang berhembus terkait Islam saat ini, hal itu tidak berpengaruh terhadap stabilitas kerukunan beragama antar warga Indonesia khususnya yang bermukim di Dresden. Hubungan harmonis tetap terjalin antar sesama warga Indonesia, sebagai salah satu contoh ketika ada acara pengajian berujung dengan acara buka puasa bersama di bulan Ramadan ini, beberapa kawan yang beragama selain Islam ikut hadir dan bahkan mereka secara suka rela membantu mempersiapkan acara seperti memasak dan juga membersihkan ruangan setelah selesai acara. Pengamalan atas ajaran agama, rasa cinta terhadap tanah air dan kebangsaan lah yang membuat kami tetap menjunjung tinggi prinsip hidup harmonis dalam keberagaman dimanapun kami berada, sebab memang seperti itulah budi pekerti yang seharusnya tercermin dari setiap individu bangsa Indonesia.
Terlepas dari permasalahan berbau SARA yang sedang berkecamuk di Dresden khususnya, Dresden dan provinsi Sachsen menyimpan banyak keindahan yang menarik pelancong dari berbagai belahan dunia untuk berkunjung dan menikmatinya. Salah satu mahakarya Tuhan yang menjadi daya tarik utama bagi para pecinta alam di daerah Dresden adalah taman nasional Sächsiche Schweiz / Saxony Switzerland. Bentangan sungai Elbe yang diapit oleh bukit-bukit batu dengan beragam bentuk yang unik dan hutan yang masih asri adalah suguhan utama dari taman nasional ini. Kami bersama tim NET TV berkunjung ke salah satu puncak bebatuan yang menjadi ikon dari taman nasional ini yakni Bastei. Untuk menuju Bastei terdapat beragam alternatif jalur pendakian, dari mulai belasan kilometer hingga yang tidak perlu mendaki sama sekali alias tinggal naik bus dan dapat langsung sampai di puncak setelah berjalan beberapa ratus meter dari tempat parkir. Jalur yang kami pilih untuk kunjungan kali ini dimulai dari Kurort Rathen yang terbilang jalur menengah. Dari stasiun kereta kami harus menyebrang sungai Elbe terlebih dahulu dengan menggunakan perahu, dan selepas itu kami berjalan kaki menuju puncak Bastei selama kurang lebih satu jam. Durasi waktu sangat tergantung dari kecepatan berjalan, karena kami ingin berjalan santai smabil mengabadikan indahnya alam sekitar maka waktu tempuh hingga ke puncak cukup lama. Setelah acara pengambilan gambar dan video di Bastei selesai, kami pulang ke kota Dresden dengan langsung mengendarai bus dari parkiran hingga ke Pirna dan dari sana disambung dengan menggunakan kereta regional hingga ke stasiun utama kota Dresden sekaligus mengakhiri rangkaian liputan acara Muslim Traveler di kota Dresden.
Oleh: Aji Pratama Rendragraha
Foto: Aji Pratama Rendragraha & Marlia Yossie