Konferensi Kehidupan Bertoleransi, Demokrasi, dan Anti-ekstrimismus di Dresden
Bertepatan dengan minggu anti-rasismus Eropa FORMID e.V diundang oleh Ausländerbeauftragte der Landeshauptstadt Dresden (Komisi untuk integrasi masyarakat asing di Dresden) untuk mengikuti konferensi untuk kehidupan bertolerensi, demokrasi, dan anti-ekstrimismus di Dresden pada tanggal 18-19 Maret 2016. Acara ini bertujuan untuk menampung ide-ide dari berbagai organisasi di Dresden mengenai masalah yang sangat relevan untuk kota Dresden saat ini, yaitu kehidupan bertoleransi, di picu dengan kedatangan sekitar 4000 pencari suaka di Dresden di tahun 2015. Acara berlangsung dalam bahasa Jerman, dan berikut adalah laporan acara tersebut.
Pada Jumat sore hari tanggal 18 Maret 2016 acara dimulai dengan kata sambutan oleh perwakilan dari Integrations- und Ausländerbeauftragte der Landeshauptstadt Dresden Frau Kristina Winkler, lalu dilanjutkan dengan kata sambutan oleh Oberbürgermeister der Landeshauptstadt Dresden (Gubernur Dresden) Dirk Hilbert dengan kalimat pembuka yang menarik, kurang lebih dapat diterjemahkan sbb. :
Betapa bodohnya seorang pemimpin suatu kota yang berpihak pada satu sisi! Dia hanyalah seorang ******** tanpa tulang belakang.
Itu adalah satu contoh dari sekian banyak ‘Hate-Post’ di halaman Facebook nya. Ia kemudian menerangkan bahwa “Hate-Post’ tersebut tidak akan berkontribusi pada kehidupan bertoleransi. Yang dibutuhkan adalah diskusi atau dialog yang komumikatif untuk mencari solusi suatu konflik. Ia juga menjelaskan bahwa ide-ide yang muncul dari diskusi-diskusi tersebut lah yang bisa menyudutkan gerakan-gerakan xenophobia seperti PEGIDA. Setelah disambut tepuk tangan para peserta acara diskusi pun lalu dimulai.
Sesi diskusi pertama membahas tema, ‘Apa lima hal terpenting yang harus di kembangkan untuk kehidupan bertoleransi di Dresden dalam lima tahun mendatang ?’. Poin hasil diskusi yaitu :
- Dibentuknya sebuah badan kerja sukarela
- Yang kedua adalah aspek politik, dimana harus ada politik komunal yang tegas dengan memandang serius demokrasi dan HAM
- Penyamarataan penduduk asli Jerman dengan penduduk berlatar belakang migran. Penyamarataan yang dimaksud lebih menimbang aspek ekonomi, agar tidak terjadi segregasi kelas ekonomi antar dua kelompok tersebut
- Poin ke-empat yang paling mendesak dan yang juga saya ingin komentari yaitu pengelolaan dari gruppenbezogene Menschenfeindlichkeit (kelompok-kelompok dengan unsur kebencian terhadap orang)
- Poin terakhir adalah aspek pendidikan, dimana ada masalah kekurangan tenaga guru, khususnya untuk mendidik siswa/i berlatarbelakang migran.
Kegiatan hari pertama kemudian ditutup dengan sesi ramah-tamah, dimana para peserta dapat bertukar pikiran sambil menikmati secangkir kopi. Poin-poin yang di dapatkan sebagian besar itu baik, tapi yang poin ke-empat mengganggu saya. Bukankah kelompok-kelompok dengan unsur kebencian terhadap sesama manusia seharusnya tidak boleh dibiarkan eksis? Para peserta berdiskusi panjang lebar mengenai apa tindakan yang bisa diambil mengenai kelompok-kelompok ini, namun tidak ada gagasan untuk menghapuskan kelompok-kelompok seperti PEGIDA.
Acara hari kedua pada pagi hari Sabtu dimulai dengan kata sambutan singkat dari Frau Kristina Winkler, dilanjutkan dengan sesi diskusi grup. Pada sesi ini para peserta dipersilahkan mengikuti secara bergiliran diskusi dengan empat tema berbeda, yaitu :
- Apa kegiatan-kegiatan yang perlu di langsungkan untuk mencapai kehidupan bermasyarakat yang beradab?
- Cara dan kemungkinan apakah yang berguna untuk melawan segregasi masyarakat?
- Apa yang pemerintah dapat lakukan untuk menekan gerakan-gerakan dengan unsur kebencian terhadap orang?
- Tantangan apa yang dapat muncul jika Dresden ikut dalam UNESCO-Städtekoalition gegen Rassismus* (koalisi kota anti-rasismus UNESCO)?
*UNESCO-Städtekoalition gegen Rassismus adalah konsep yang diinisiasi oleh UNESCO pada tahun 2004 untuk kota anti-rassismus di berbagai negara yang berbasis pada sepuluh butir-butir, antara lain peningkatan kewaspadaan aksi-aksi rasismus, pemberian bantuan pada korban-korban aksi rasismus dan pengikutsertaan para masyarakat yang rentan menjadi korban anti-rasismus dalam kegiatan-kegiatan masyarakat (untuk informasi lebih lanjut di https://www.unesco.de/en/wissenschaft/rassismus/staedtekoalition.html).
Setelah sesi diskusi grup usai, para peserta dipersilahkan untuk menikmati makan siang, menu yang disajikan adalah makanan khas Jerman, yaitu Kartoffelsuppe (sup kentang) dan juga Apfelkuchen (tart apel). Acara kemudian dilanjutkan dengan presentasi hasil sesi diskusi grup. Untuk tema pertama, kegiatan yang dikira perlu adalah debat, diskusi, dan kegiatan pertemuan. Acara kesenian, olahraga, dan kultur dinilai dapat menjadi sarana sebagai ajang pertemuan. Pendidikan politik di sekolah juga perlu diusahakan untuk menarik perhatian dan partisipasi murid, contohnya dengan membahas isu-isu relevan seperti PEGIDA. Pada tema kedua, dialog dan pertemuan lintas masyarakat dinilai penting. Salah satu contoh adalah poster-poster anti-rassismus yang ditempel di halte-halte bis untuk memicu perhatian masyarakat, karena halte bis dianggap sebagai satu contoh tempat dimana masyarakat dari berbagai latar belakang dapat bertemu. Untuk tema ketiga isu yang paling dibahas adalah kurangnya anggaran dari pemerintah untuk acara seperti konferensi ini. Pada tema terakhir dan yang paling menarik perhatian saya, hampir semua peserta berpendapat positive terhadap ide tersebut. Namun diharuskan terlebih dahulu adanya kesadaran dari masyarakat Dresden itu sendiri, karena butir-butir yang menjadi basis gerakan ini sangatlah membutuhkan kontribusi dari seluruh aspek masyarakat, khususnya masyarakat asli Jerman. Ditakutkan bila dilakukan terlalu cepat hanya akan menjadi Feigenblatt (istilah Jerman untuk percobaan menutup-nutupi sesuatu). Konferensi pun diakhiri dengan beberapa permainan yang kemudian ditutup dengan kata penutup dari Frau Kristina Winkler.
Saya mendapatkan kesan yang sangat baik di hari kedua. Para peserta sangat aktif dan serius dalam sesi diskusi. Saya sendiri berkesempatan berbincang-bincang dengan beberapa peserta, salah satunya adalah ibu yang datang mewakili organisasi masyarakat Yahudi di Dresden. Walaupun sudah lanjut usia Ia sangat antusias menceritakan perjuangan sekitar 100 masyarakat Yahudi di Dresden yang bermigrasi dari suatu kota di bekas Uni Soviet ke Dresden pada tahun 1990. Saya juga sempat berbincang dengan perwakilan dari organisasi Dresden für Alle, yang merupakan jaringan dari lebih dari 100 organisasi yang berjuang untuk kota Dresden yang terbuka dan beragam. Mereka sering mengadakan acara-acara untuk integrasi para masyarakat yang termarjinalkan.
Menurut saya sendiri, dilangsungkannya konferensi ini sangatlah baik. Kebanyakan peserta adalah NGO (Organisasi non-pemerintah) dan sosial. Diundangnya FORMID e.V sebagai salah satu dari sedikitnya peserta organisasi perkumpulan masyarakat negara asing di Dresden (peserta perkumpulan masyarakat negara asing lain hanya Afroafrica e.V.) menandakan bahwa FORMID telah menjadi bagian dari masyarakat Dresden dan perlu ambil bagian dalam pencarian solusi untuk permasalahan kota tersebut. Di Indonesia sendiri kehidupan bertoleransi dalam konteks sosial, budaya, dan agama adalah hal yang sangat lumrah dan untuk itu haruslah kita bangga. Toleransi yang sebenarnya adalah dialog untuk saling memahami, bukan untuk mengambil keputusan. Memang dialog-dialog seperti di konferensi ini diperlukan, tetapi alangkah sayang bila hanya sebagai formalitas saja. Toleransi harus dimaknai dengan menerima dan mengakui kenyataan bahwa manusia pada dasarnya adalah berbeda namun setara. Dan mengutip bapak pluralisme kita Gus Dur, ‘TOLERANSI ITU BUKAN PEMAHAMAN. TOLERANSI ITU PENGALAMAN.’
Oleh: Tanto Situmorang
Sumber :
http://www.dresden.de/de/leben/gesellschaft/migration/asyl/fragen-und-antworten.php
https://www.unesco.de/wissenschaft/rassismus/staedtekoalition.html
http://www.gusdurian.net/id/article/sorot/Hari-Toleransi-Internasional-2013-Sikap-jgd/