Wallstraße 19, 01067 Dresden
0351-65677400
mail.formid@gmail.com

Menjalani Kehidupan Beragama di Dresden

Menjalani Kehidupan Beragama di Dresden

Negara Jerman memberikan privasi yang sangat besar terhadap masyarakatnya berkaitan dengan keyakinan yang dianut atau yang biasa disebut sebagai agama, bahkan dalam masyarakat Jerman topik ini merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan terutama untuk orang-orang yang baru dikenal ataupun tidak terlalu dekat. Berdasarkan sensus yang dilakukan pada tahun 2015, prosentase terbesar (34.8%) tidak menganut agama apapun atau yang biasa kita sebut atheis, prosentase terbesar kedua (28,9%) menganut katolik, prosentase terbesar ketiga (27,1%) kristen dan sisanya berbagai macam agama atau kepercayaan lainnya. Sepengetuhan saya agama apapun bebas dijalankan selama tidak menganggu keamanan dan ketentraman. Ada beberapa hal menarik yang saya temui di Jerman mengenai praktik keagamaan, yang pertama aliran Falun Gong yang dilarang untuk dipraktekan di China dan sekitarnya bebas untuk dijalankan di Jerman, hal serupa untuk islam aliran ahmadiyyah yang dilarang di Indonesia namun tidak dilarang di Jerman bahkan termasuk dalam salah satu agama yang secara rutin membayar pajak. Saya akan jelaskan sedikit mengenai pajak agama ini, ada 3 agama (katolik, kristen dan ahmadiyyah) yang pendapatan umatnya dikenakan pajak secara rutin, pajak ini dipotong langsung dari pendapatan masing-masing umatnya dan diserahkan untuk masing-masing agama yang bersangkutan.

Masyarakat Indonesia di Dresden pun sangat terbuka dengan kegiatan keagamaannnya masing-masing. Nilai-nilai kekeluargaan dan sifat saling menghargai sangatlah kental dan menonjol dalam komunitas warga Indonesia di Dresden. Pada tulisan ini, kami merangkum beberapa kegiatan keagamaan yang umum dilakukan oleh masyarakat Indonesia di Dresden.

A. Pengajian Rutin untuk Masyarakat Muslim

Dresden memiliki penduduk beragama Islam kurang dari 1 persen dengan komposisi asal negara Turki, Mesir, Iran, Afrika dan Asia. Kota- kota di bagian timur Jerman umumnya memiliki komposisi penduduk muslim dan pendatang yang relatif rendah dibandingkan kota-kota di bagian barat Jerman. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan sistem politik dan ekonpmi yang dianut Jerman sebelum bersatu.

Ada tiga masjid di wilayah kota Dresden, Islamisches Zentrum Dresden di daerah Flügelweg 8 (oleh masyarakat muslim Inndonesia dikenal dengan sebutan masjid arab), Marwa Elsherbiny Kultur und Bildungzentrum (Masjid Mesir) berlokasi di Maschnerstraße 2 dan DiTib Fatih Camii (masjid Turki) di daerah Hündorfer straße 14. Setiap masjid biasanya memiliki komunitas dominan yang menjadi pengelola dan jamaah masjid, misalnya Masjid Marwa el Sharbini dikelola oleh Masyarakat Mesir. Setiap masjid menyelenggarakan kegiatan keislaman yang terbuka untuk umum dan juga berfungsi sebagai sarana untuk berkomunikasi dan berdiplomasi masyarakat muslim kepada warga non muslim di sekitarnya. Bagi para mahasiswa yang rajin mengunjungi SLUB (Die Sächsische Landesbibliothek – Staats- und Universitätsbibliothek Dresden) salah satu perpustakaan terbaik di Jerman, sejak awal 2016 telah disediakan Raum de Stille yang cukup nyaman. Ruangan ini secara umum diperuntukkan bagi pengunjung yang ingin menenangkan hati, merenung (terbuka untuk berbagai agama), akan tetapi akhirnya lebih banyak dimanfaatkan oleh pengunjung muslim sebagai mushala.

Masyarakat muslim Indonesia di Dresden mengadakan beberapa kegiatan informal rutin seperti Yasinan yang diadakan setiap seminggu sekali, pengajian bulanan, atau TPA Dresden. Khusus untuk Yasinan, kegiatan ini berawal dari obrolan informal diselingi makan- makan tentang berbagai cerita pribadi, masalah kuliah hingga tukar fikiran ringan tentang tantangan dalam berislam di Dresden akhirnya menjadi kegiatan yang dirutinkan setiap minggu sambil mencoba mengangkat tema-tema ringan tentang Islam sebagai bekal ilmu. Mungkin dikarenakan waktu pelaksanaan di sore hingga malam, kebanyakan yang hadir di kegiatan Yasinan adalah mahasiswa kadang beberapa keluarga juga hadir. Tempat kegiatan yasinan berpindah-pindah dari satu apartemen ke apartemen sesuai kelapangan dan kesediaan tuan rumah.

Selanjutnya terdapat juga kegiatan pengajian bulanan yang rutin dilakukan setiap sebulan sekali. Berbeda dengan Yasinan, kegiatan in diadakan siang hari pada hari Sabtu/Minggu, sehingga hampir semua masyakat muslim dresden, baik pelajar, pekerja, maupun keluarga besar dapat berkumpul pada kegiatan ini. Oleh karena itu, kegiatan ini juga membutuhkan tempat dengan ukuran yang lebih besar untuk mengakomodasi jamaah yang hadir.

Agak berbeda dengan Yasinan dan Pengajian bulanan, kegiatan TPA lahir dari inisitiatif sukarela beberapa mahasiswa muslim Indonesia yang tergerak untuk memfasilitasi anak- anak dan remaja untuk belajar membaca al Quran, adab dan doa harian serta tata cara ibadah wajib bersama-sama teman sebaya di masjid. Suatu hal yang dengan mudah didapat oleh anak dan remaja jika mereka berada di Indonesia, tapi menjadi langka bagi anak dan remaja muslim yang tumbuh di Dresden.

Sistem pendidikan dini, dasar dan menengah di Jerman secara umum banyak membangun nilai dan karakter positif pada diri anak, akan tetapi di sisi lain nilai religius khususnya bagi anak2-anak muslim sangat minim sehingga menjadi tantangan besar bagi orangtua muslim Indonesia yang tinggal di Jerman untuk dapat memberikan pendidikan Islam bagi anak- anaknya, contohnya membiasakan diri mengucap salam dan menutup aurat.

Tidaklah mudah untuk beradapatasi dengan budaya Jerman bagi seorang muslim. Banyak hal-hal yang terinpirasi pula dari kisah “99 Cahaya di Langit Eropa”. Mulai dari cerita wudhu di wastafel sambil mengangkat kaki dan becek yang membuat heran teman non muslim, mencari tempat shalat yang representatif walaupun harus dilakukan di bawah tangga ataupun di sudut perpustakaan. Minuman keras yang dijual bebas dan free-sex adalah shock culture dan juga tantangan luar biasa bagi kaum muda muslim yang baru menginjakkan kaki di Jerman. Tidak sedikit anak muda Indonesia yang kehilangan identitas keislaman maupun ketimurannya ketika menjalani kehidupannya di Eropa dan tidak sedikit yang juga sebaliknya, menemukan jati diri sebagai muslim justru di Eropa.

Bagaimanakah cara agar kita dapat menjadi muslim yang baik yang tidak kehilangan identitas dan diterima oleh masyarakat di Dresden ataupun di negara mayoritas non muslim?berikut tips dan triksnya:

  1. Membangun kesadaran dan niat yang tulus dan baik bahwa kita adalah seorang muslim dengan segala hal yang melekat pada Islam itu sendiri. Hal ini akan membangun sistem filter nilai dalam diri kita untuk dapat mengambil yang baik dan menjauhi yang dilarang.
  2. Membangun integritas dan identitas yang baik dengan selalu berusaha ramah, murah senyum, suka menolong dan memberi hadiah, gaul tapi tidak lebur.
  3. Menjalin hubungan silaturahiim dengan sesama muslim dan komunitas muslim yang ada untuk membangun suasana saling mengingatkan dalam kebaikan dan menjauhi yang dilarang.
  4. Mendekatkan persamaan dan mengurangi perbedaan dalam hal-hal yang tidak diharamkan agama.
  5. Menghadiri masjelis-majelis ilmu yang dapat meningkatkan ilmu ataupun keimanan.
  6. Menjaga hal-hal yang diwajibkan agama.
Foto3

Foto Bersama Seusai Pengajian Bulanan

B. Kegiatan Keagamaan di Beberapa Gereja di Dresden

Pertama, kami membahas tentang Gereja Frauenkirche. Berikut ini adalah hal- hal yang berbeda yang bisa kita lihat di Frauenkirche. Bangunan Frauenkirche didirikan pada tahun 1992-2005, bisa dibilang bangunan baru tapi lama. Maksudnya apa? Sebenarnya Frauenkirche itu pernah ada, tetapi karena Perang Dunia 2 kota Dresden rata dengan tanah, gedung Frauenkirche habis terbakar karena bom tersebut dan runtuh 2 hari setelah pengeboman. Dan proyek pembangunan kembali (rebuilding) Frauenkirche adalah membangung Frauenkirche dengan desain interior dan exterior yang sama seperti Frauenkirche yang dulu. Dan juga dana untuk rebuilding Frauenkirche itu sendiri didapat dari Spende (dana sumbangan) dari warga sekitar dan juga perusahaan-perusahaan.

Musik gerejanya cukup unik, karena masih menggunakan pipe organ, jadi sambil beribadah kita juga bisa merasakan ibadah seperti di zaman dulu. Di Indonesia pun sebenarnya masih ada gereja yang menggunakan pipe organ, tapi sangat sedikit jumlahnya. Terkadang juga diselingi dengan orkestra kecil gereja, dan juga paduan suara gereja yang beranggotakan 30 orang yang kualitasnya tidak perlu diragukan lagi. Lagu-lagu gereja yang dimainkan di Frauenkirche pada umumnya adalah musik gereja yang berasal dari abad 17 dan 18, dan juga berasal dari musisi-musisi terkenal pada zaman itu, seperti Joseph Haydn, Johann Sebastian Bach, Ludwig van Beethoven, dll.

Jalannya sakramen kudus seperti perjamuan kudus dan baptisan kudus berlangsung sungguh menarik. Untuk perjamuan kudus, kita tidak diberikan sloki atau wadah kecil, melainkan langsung melalui 3 cawan yang disediakan; ada cawan yang berisi Rotwein (wine merah), Weißwein (wine putih) dan Saft (sirup). Kita bisa memilih salah satu, dan cawan yang berisi Saft diperuntukkan untuk orangtua yang pantang atau tidak boleh meminum wine. Jadi, kita maju ke depan mimbar bersama dengan jemaat-jemaat yang lain dan berbaris untuk mengambil hosti atau roti perjamuan dan kemudian meminum salah satu dari ketiga cawan tersebut. Jika merasa jijik, kita boleh hanya mencelupkan hosti kita ke dalam wine atau sirup dalam cawan tersebut dan kemudian memakannya.

Untuk sakramen baptisan kudus ada hal yang menarik, yang belum pernah saya lihat di Indonesia. Pertama, akan ada lilin yang dinyalakan setelah baptisan kudus selesai untuk setiap orang yang dibaptis (satu orang satu lilin, baik anak-anak maupun dewasa). Kedua, selama sakramen berlangsung, anak-anak boleh maju ke depan untuk melihat lebih dekat jalannya sakramen tersebut.

Pemberian persembahan di Frauenkirche tidak berlangsung pada saat ibadah, melainkan setelah ibadah. Bagi yang ingin memberikan persembahan bisa memasukkannya ke dalam kantong persembahan yang disediakan di dekat pintu keluar.

Tidak ada jemaat yang membawa Alkitab ke dalam gereja, dan berdiri setiap pembacaan ayat Alkitab (untuk semua kitab) adalah hal yang tidak pernah kita lihat di gereja Indonesia. Walaupun begitu kita tetap diperbolehkan membawa Alkitab sendiri ataupun membuka aplikasi Alkitab dari smartphone kita. Setiap jemaat akan diberikan tata ibadah untuk digunakan selama ibadah berlangsung. Ibadahnya ada 2 sesi, yaitu jam 11:00 dan jam 18:00. Jika kita datang terlambat, kita tidak akan bisa masuk, karena pintu masuk akan dikunci dari dalam, dengan tujuan agar tidak mengganggu jalannya ibadah.

Jumlah jemaat yang datang bisa dibilang sedikit, dengan mayoritas orang-orang tua dan jumlah anak muda yang datang bisa dihitung dengan jari. Jumlahnya akan banyak jika ada ibadah gabungan dari gereja-gereja sekitar, atau saat Weihnachten (natal), Karfreitag (jumat agung), Ostersonntag (minggu paskah), Christi Himmelfahrt (kenaikan Yesus Kristus), dan Pfingsten (pentakosta) . Untuk beberapa ibadah seperti ibadah Ostersonntag akan ada orkestra dan juga akan disiarkan langsung oleh ZDF (salah satu stasiun TV di Jerman). Ibadah di Frauenkirche tidak hanya berbahasa Jerman, tetapi juga ada ibadah yang berlangsung dalam bahasa Inggris, walaupun ibadah yang dalam bahasa inggris hanya ada sebulan sekali. Untuk informasi lebih lengkap bisa dilihat di website: http://www.frauenkirche- dresden.de/

Selain itu, terdapat pula Gereja dengan tipe lain yang dikenal dengan istilah Evangelische Gemeinde dan Free Church. Gottesdienst mereka selenggarakan tidak di bangunan tua dan artistic seperti Gereja pada umumnya. Kelompok ini biasanya memiliki sebuah tempat semacam basecamp untuk melaksanakan kegiatannya. Di akhir Gottesdienst, biasanya mereka menawarkan Gemeinschaft alias ramah tamah dalam bentuk snack dan kopi. Jadi selain beribadah, kita juga bisa brsosialisasi dengan jemaat lain. Sehingga kita juga bisa melatih bahasa Jerman juga. Selain Gottesdienst tiap hari Minggu, mereka juga memiliki beberapa agenda seperti Gottesdienst für Familien (umum juga bisa datang), Brunch saat Paskah, Excursion (informal, just for fun) ke Sächsische Schweiz dll. Di Gemeinde ini, terkadang dapat ditemui pula para pengungsi. Tujuannya untuk memberikan rasa nyaman dan aman, dan bantuan bagi mereka yang membutuhkan. Beberapa conth Gemeinde dengan tipe ini adalah Netzwerk Gemeinde (Pennricher Straße 31) dan Jesus Gemeinde (Schandauer Straße 60).

Selain itu, terdapat pula kota kecil dan terletak di dekat perbatasan Republick Ceko dan Polandia, yang bernama Herrnhut. Herrnhut jika diterjemahkan berarti “Under Protection of the Lord”. Kota ini dibangun oleh pengungsi dari Ceko yang melarikan diri dari religious persecution. Mereka juga mendirikan dan membentuk sebuah Gereja bernama Herrnhuter Brüdergemeine (Moravian Church) yang melahirkan banyak misionaris ke seluruh dunia termasuk ke Bali, Indonesia. Seperti pada umumnya, Gottesdienst mereka tawarkan tiap hari minggu, ditambah event-event khusus seperti 24 hours atau 120 hours prayer meeting. Keunikan lain dari Gottesdienst di kota ini adalah mereka merayakan pula tradisi Yahudi yaitu Sabbath.

Selanjutnya untuk yang beragama Katolik, biasanya mereka beribadah atau misa di beberapa gereja katolik seperti contohnya: Katolische Kirche St. Josef, Mariä Himmelfahrt, St. Franziskus Xaverius Neustadt. Namun kebanyakan dari kami mengikuti misa di gereja katedral „Katolische Hofkirsche“ yang terletak di pusat turis Altstadt. Di gereja yang dibangun tahun 1739 ini terdapat 4x kebaktian dalam seminggu, yaitu pada hari sabtu pukul 18:00, dan minggu pukul 07:30, 10:30, dan 18:00. Lama ibadah pun sedikit berbeda dengan gereja di Indonesia, yaitu 1 jam (di Indonesia biasanya misa berlangsung 90- 120 menit), namun tata perayaan Ekaristi (Ritus pembukaan, Homili, Komuni Kudus, Penutup) sama sekali tidak ada yang berbeda.

Di Dresden juga saat ini baru saja didirikan komunitas Indonesische Dresdner Hauskreis. Komunitas ini adalah perkumpulan muda-mudi Kristen Indonesia yang berdomisili di Dresden. Terbentuk di awal Februari 2017 melalui inisiatif dan dukungan dari komunitas Kristen Leipzig, Berlin, Halle, dan Zwickau yang sudah lebih dahulu menjadi wadah tempat bersekutu bagi masyarakat Kristen di kota-kota tersebut, Indonesische Dresdner Hauskreis mencoba untuk juga turut serta dalam menjangkau dan mendukung perkembangan muda-mudi Kristen Indonesia yang ada di Dresden.

Foto7

Indonesischer Dresdner Hauskreis

 

Oleh: Kelvin Nugroho, Santi Rukiminita A., Luman Haris, Okta Gracika Buranda, Raymondus Kefi

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *