Wallstraße 19, 01067 Dresden
0351-65677400
mail.formid@gmail.com

Seminar “Pre-Scouting Talent”

Seminar “Pre-Scouting Talent”

Pada dasarnya setiap pelajar merupakan agen sekaligus motor pembangunan sebuah negara, dimana harapan dan cita-cita luhur suatu bangsa digantungkan kepada mereka di masa mendatang di saat mereka berkarir dan berkarya. Hal ini sudah sekian lama dipahami oleh para pemikir besar bangsa dan disampaikan dengan beberapa bentuk metafora yang sampai sekarang masih menjadi bukti validasi dari gagasan pemikiran tersebut, misalnya saja resitasi kalimat mutiara dari Founding Father Indonesia, Soekarno :

“Beri aku 1.000 orang tua niscaya kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kugancang dunia.“ (Soekarno, Presiden pertama Indonesia)

Berlandaskan kesadaran akan vitalnya peran pelajar bagi bangsa dan negara setelah bekarya dan berkarir di masa depan. Divisi pendidikan FORMID melalui pertemuan bulanan bulan Januari yang jatuh di tanggal 28 Januari 2017 mengadakan seminar pendidikan bertajuk „Pre-Scouting Talent“. Pada seminar ini dihadirkan 3 pembicara antara lain Sdr. Fajri Afrianto, Bpk. Adi Nugraha dan Bpk. Roni Soesman. Pemilihan 3 pembicara ini bukan semata-mata karena kesediaan pembicara semata melainkan juga dikarenakan jam terbang sekaligus latar belakang pembicara yang telah dianggap kompeten dan kualitatif dapat memberikan pengalaman mereka untuk dapat menginduksi hal positif dan memberi motivasi bagi para pelajar yang berada di Dresden.

Foto5

Ketiga Pembicara Seminar: Bpk. Ron Soesman, Bpk. Adhi Nugraha, dan Sdr. Fajri Afrianto (kiri ke kanan)

Sampai detik ini mungkin masih banyak para pelajar yang tidak mengerti esensi kenapa mereka harus belajar, ibarat sebuah biduk yang hanya terbawa arus semata. Mereka yang sekiranya hanya tunduk pada sistem dan budaya diskursif yang berlaku tanpa mengkritisi landasan-landasan yang berada di belakangnya. Merupakan sebuah stereotype di Indonesia dimana anak-anak diwajibkan untuk mengenyam bangku pendidikan dan dipaksa untuk mendapatkan nilai yang baik, misalnya saja 9 atau 10 menurut sistem di Indonesia. Pemaksaan ini merupakan bentuk harapan spekulatif orang tua yang mengganggap dan mengaitkan bahwa keberhasilan akademis akan membawa kebaikan di masa depan baik bagi si pelajar, orang tua dan juga bangsa dan negara. Penulis tidak bisa membenar atau salahkan diskurs yang telah berlaku sekian lama ini, tetapi penulis mengajak pembaca untuk dapat berpikir kritis dan terbuka untuk menghargai namun tidak semudah itu menerima diskurs tadi mentah-mentah. Kebaikan maupun keberhasilan pada dasarnya merupakan sebuah hal yang definitive relatif dan bisa dibilang memiliki berbagai macam parameter yang tidak bisa dikaitkan satu sama lainnya. Proses interpretasinya pun secara retoris memiliki tendens ke arah subjektivisme ketimbang objektivisme. Satu-satu nya orang yang mengetahui apakah sebuah nilai baik atau buruk bagi diri sendiri adalah diri kita sendiri. Oleh karena itu bukan pertanyaan “Apa yang seharusnya kita pelajari” yang kita gantungkan di pikiran kita melainkan “Apa yang baik untuk kita pelajari” yang harus kita gantungkan.

Pembicara pertama yaitu sdr. Fajri Afrianto menyampaikan beberapa pengalaman yang ia alami sewaktu belum menamatkan studinya di TU Dresden. Sebagai pelajar asing, di negara asing yang memiliki kultur yang berbeda dengan negara asal kita dan bahasa yang bukan bahasa ibu kita. Sudah sewajarnya kita memiliki beberapa tantangan dan rintangan untuk menuntaskan studi kita di Jerman. Faktor-faktor yang menjadi penghalang bukan sepatutnya ditakutkan untuk menjadi ketidakmampuan di kemudian hari, melainkan seharusnya menjadi motivasi untuk melewati rintangan-rintangan itu. Dan kembali masalah prioritas menjadi salah satu jalan untuk menamatkan studi di Jerman. Yang mengetahui kapabilitas diri adalah diri sendiri sehingga yang megetahui bagaimana sebaiknya mengatur waktu adalah diri sendiri. Salah satu contoh yang disebut oleh sdr. Fajri adalah pemahaman kita sebagai pelajar asing yang tendensius lebih lambat bila dibandingkan dengan kolega jerman kita. Dalam arti ini adalah sebuah hal yang lumrah bila kita memerlukan waktu yang lebih banyak untuk belajar jika dibanding mereka, namun seiring dengan berjalannya waktu sering kalli godaan muncul. Disinilah dibutuhkan kebijaksanaan dan ketegasan untuk terus konsisten mengikuti pengaturan waktu yang telah dicanangkan oleh kita sendiri.

Foto3

Sdr. Fajri Afrianto saat membawakan presentasi

Selain manajemen dan hal-hal organisatorik yang disampaikan oleh pembicara pertama, pembicara kedua yaitu Bpk. Adi Nugraha yang sekarang berkarir di Global Foundries Dresden sebagai seorang analis juga menyampaikan pentingnya pengembangan bakat dan minat yang menjadi modal awal untuk berkarya di masa depan. Ibaratnya dengan memiliki sebuah modal awal bukankah sebuah investasi akan mudah dilakukan di masa mendatang? Setelah memiliki daya tarik yang besar untuk suatu bidang alangkah baiknya kita menetapkan sebuah tujuan misalnya saja dengan menetapkan kapan kita lulus dan mulai bekarya. Kembali lagi kita dingatkan untuk tidak takut dalam menetapkan tujuan yang konkrit, tujuan yang sifatnya kurang konkrit pun diperbolehkan selama kita mengetahui kapasitas diri dan cara untuk merealisasikannya. Setelah tujuan tadi ditentukan secara tidak langsung kita telah menuntut diri kita untuk merealisasikannya dan dalam proses perealisasiannya bukanlah rahasia umum bila kita menjalani beberapa hal baru yang belum pernah kita temukan sebelumnya. Kembali lagi sebuah problematika dapat terumuskan antara lain apakah kita berani keluar dari zona nyaman kita dan mengambil resiko untuk melakukan hal baru tersebut? Sebuah pepatah kuno tiongkok menagatakan bahwa pembelajaran sepenuhnya merupakan harta yang mengikuti para pemiliknya. Kemanapun para pembelajar itu pergi kesitu juga harta ini akan terus bersamanya termaksud ke liang lahat. Seperti juga proses pasang surut gelombang begitu juga dinamika kehidupan yang terus berganti baik itu suka maupun duka, sukses maupun gagal. Fluktuasi tersebut merupakan hal yang lumrah dan adalah seuatu ketidaklumrahan bila kita berhenti tanpa alasan yang jelas pada sebuah problematika. Pembicara kedua juga menekankan untuk selalu berpikira positif dalam mengarungi masalah. Sebab sebuah problematika tidak akan dapat terurai bila kita hanya memikirkan masalah tersebut, ia akan mampu diurai dari cara kita memikirkan masalah itu sendiri. Auguste Comte, seorang pemikir perancis termasyur di zamannya pernah memberikan sebuah formula rahasia akan positivism itu sendiri yang antara lain adalah cinta sebagai prinsip, urutan atau prioritas sebagai landasan dan kemajuan sebagai tujuan. Dalam hal ini pemikiran yang positif pun kembali memegang peran penting menentukan orientasi hidup seseorang sebab, pemikiran merupakan pelopor dari segala sesuatu yang akan kita lakukan dan ucapkan. Kemanapun seorang berbicara atau berbuat dengan pemikiran jahat atau baik, maka dampaknya pun akan mengikuti orang tersebut, seperti roda pedati yang mengikuti langkah kaki lembu atau kuda yang menariknya.

Foto2

Bpk. Adhi Nugraha saat membawakan presentasi

Selain factor internal, factor eksternal juga menjadi kartu as dalam berkarir dan berkarya oleh karena itu alangkah baiknya bila seseorang mengembangkan kemampuan berkomunikasi verbalnya. Hal ini merupakan hal retoris yang tidak mudah untuk diajarkan namun tidak menutup kemungkinan untuk dipelajari. Selain pengembangan kemampuan berkomunikasi, perbesaran lingkaran Networking juga sangatlah penting hal ini tidak lain tidak lepas dari esensi manusia sebagai makhluk sosial “homo himini lupus”. Sebab dikemudian hari kita akan membutuhkan orang lain dan orang lain juga membutuhkan kita, hubungan timbal balik inilah yang setidaknya bisa menjadi kesempatan kita untuk berkarir dan berkarya. Konsepsi ini setidaknya juga dibahas oleh pembicara ketiga, yaitu Bpk. Roni Soesman yang sekarang merupakan seorang kandidat Doktor di TU Berlin jurusan Urban and Regional Planning. Pembahasan ini juga dilandasi oleh apa yang telah dialami beliau selama berada di Jerman. Perlu diketahui Bpk. Roni Soesman merupakan salah satu perumus konsep Sister City antara Halberstadt, Sachsen-Anhalt dan juga Subang, Jawa Barat. Konsepsi Sister City ini tidak hanya menitik beratkan pada sektor ekonomi berupa penanaman modal investasi industri dan kegiatan ekspor impor semata melainkan juga pada perkembangan sosial masyarakat di kedua kota. Pemberian beasiswa kepada para putera dan puteri terbaik daerah Subang ke Jerman menjadi salah satu contoh program pendongkrak perbaikan kualtias sumber daya manusia di Subang. Peningkatan SDM ini tidak lain dan tidak bukan diperuntukkan untuk pembangunan kota Subang itu sendiri hasil buah dari program sister city ini.

Foto4

Bpk. Ron Soesman saat membawakan presentasi

Kembali di sini kita dihadapkan pada sebuah konsepsi dimana generasi mudalah yang memiliki peranan penting dalam pembangunan sebuah daerah atau negara. Didasari oleh tuntutan ini sudah sepatutnya para generasi muda terutama pelajar mempersiapkan kapabilitasnya melalui pendidikan. Esensi pendidikan itu sendiri antara lain adalah untuk mempertajam kecerdasan, merperkukuh kemauan serta menghaluskan perasaan seperti yang disampaikan oleh Tan Malaka, salah seorang pemikir besar bangsa. Pemilihan bidang untuk berkarir pada dasarnya harus sesuai minat dan bakat masing-masing tanpa paksaan dan interverensi eksternal yang mengacu pada konflik batin di kemudian hari. Untuk berkarya dan memajukkan Indonesia tidak selalu harus diinterpretasikan dengan kehadiran fisik secara utuh di bumi pertiwi namun juga bisa dilakukan dengan berkarir di negeri orang. Misalnya saja Bpk. Roni Soesman yang secara fisik tidak berada di Indonesia namun mampu menjadi salah satu pencetus program yang dianggap penulis sangat amat positif bagi khalayak umum di Indonesia. Jadi pada akhirnya penulis menyampaikan lintasan ruang masa depan yang akan kita tuju tidak lain merupakan hasil dari pergejolakkan lintasan ruang dan waktu masa kini. Dalam arti lain masa depan tidak lain merupakan buah dari segala usaha yang kita lakukan di masa kini dan masa lalu. Seperti sebuah hantu yang bergentayangan begitu juga usaha menghantui para pemiliknya. Jika kita menginginkan sesuatu bukankah dibutuhkan usaha untuk menggapainya? Perpindahan tidak akan terjadi bila tidak ada usaha yang dilakukan, seperti itulah ilmu fisika merumuskan konsepsi usaha yang penulis anggap sudah sangat konkrit untuk menggambarkan pemikirannya. Dan pemikiran pun kendatinya memiliki peran terpenting menentukan kemana kita akan berlabuh di kemudian hari.

„Sebuah pemikiran terbuka akan mampu membawa kita melampaui beberapa hari kehidupan kita, sebuah pemikiran visioner mampu membawa kita melampaui beberapa tahun kehidupan kita dan sebuah pemikiran soliter mampu menumbangkan satu peradaban manusia.“ (Jayanto Halim, Divisi Pendidikan Formid)

Jadi sudah siapkah kita berkompetisi untuk berkarya di masa mendatang?

Oleh: Jayanto Halim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *